Kesultanan Sambas adalah Kerajaan yang
terletak di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat sekarang, tepatnya berpusat di
Kota sambas. Kerajaan Sambas telah ada sebelum abad ke-14 M seperti yang
tercantum dalam Nagaraktragama. Pada
masa itu rajanya mempunyai gelar “Nek”, salah satunya bernama Nek Riuh. Setelah
masa Nek Riuh, pada sekitar abad ke-15 M muncul pemerintahan raja yang bernama
Tan Unggal yang terkenal sangat kejam. Karena kekejamannya ini Raja Tan Unggal
kemudian digulingkan oleh rakyat dan setelah itu selama puluhan tahun rakyat di
Wilayah Sungai Sambas ini tidak mengangkat Raja lagi.
Pada tahun 1530 M bangsawan Majapahit yang
masih Hindu melarikan diri dari Pulau Jawa karena ditumpas oleh pasukan
Kesultanan Demak. Mereka kemudian menetap di hulu Sungai Sambas, yaitu di suat
tempat yang sekarang disebut dengan nama “Kota Lama”. Setelah sekitar lebih
dari 10 tahun menetap di Kota Lama, para bangsawan tersebut mendirikan sebuah
Panembahan / Kerajaan Hindu yang kemudian disebut dengan nama Panembahan
Sambas. Raja Panembahan Sambas bergelar “Ratu” (Raja Laki-laki). Tidak
diketahui siapa rajanya yang pertama, tetapi yang kemudian muncul seorang raja
yang bergelar Ratu Timbang Paseban. Setelah Ratu Timbang Paseban wafat
digantikan oleh adiknya yang bergelar Ratu Sapudak. Pada masa Ratu Sapudak
inilah untuk pertama kalinya diadakan kerja sama perdagangan antara Panembahan
Sambas dengan VOC pada tahun 1609 M.
Pada masa Ratu Sapudak, Sultan Tengah datang
dari Kesultanan Sukadana ke wilayah Sungai Sambas. Dia kemudian menetap di
sekitar Sungai Sambas, yakni di daerah Kembayat Sri Negara. Anak laku-laki
sulung Sultan Tengah yang bernama Sulaiman kemudian dinikahkan dengan anak
bungsu Ratu Sapudak yang bernama Mas Ayu Bungsu sehingga nama Sulaiman kemudian
berubah menjadi Raden Sulaiman. Raden Sulaiman inilah yang kemudian setelah
keruntuhan Panembahan Sambas di Kota Lama mendirikan Kerajaan baru, yaitu
kesultanan Sambas dengan Raden Sulaiman menjadi Sultan Sambas Pertama bergelar
Sultan Muhammad Shafiuddin I yaitu pada tahun 1675 M.
Pada tahun 1685 Sultan Muhammad Shaifuddin
(Raden Sulaiman) mengundurkan diri dari Kesultanan Sambas. Dia mengangkat anak
sulungnya, Raden Bima, sebagai penggantinya dengan gelar Sultan Muhammad
Tajuddin. Sekitar setahun setelah memerintah, Sultan Muhammad Tahuddin, atas
persetujuan dari ayahandanya kemudian memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan
Sambas dari Lubuk Madung ke suatu tempat didekat percabangan tiga buah sungai,
yaitu Sungai Sambas, Sungau Teberrau dan Sungai Subah. Tempat ini kemudian
disebut dengan nama Muare Ulakkan yang menjadi pusat pemerintahan Kesultanan
Sambas dari tahun 1956 M.
Pada masa pemerintahan Raden Mantri yang
bergelar Sultan Abubakar Tajuddin I, Kesultanan Sambas memiliki armada Angkatan
Laut yang kuat. Armada itu terdiri dari 2 kapal layar bertiang 3 lengkap dengan
meriam yang didampingi dengan berpuluh-puluh perahu pencalang. Armada Laut
Kesultanan Sambas ini dibentuk pada sekitar tahun 1805 M oleh Pangeran Anom,
adik Sultan Abubakar Tajuddin I.
Armada Angkatan Laut Kesultanan Sambas ini
bertugas untuk menjaga kedaulatan wilayah perairan Kesultanan Sambas saat itu.
Armada ini dibentuk setelah seringnya para bajak laut terutama bajak laut yang
datang dari perairan Sulu. Selain itu, pembentukan armada berguna untuk
mengatasi pembangkangan dari kapal-kapal Eropa khususnya kapal-kapal Inggris
yang menolak perdagangan di Wilayah Kesultanan Sambas dengan melalui pelabuhan
induk. Kapal-kapal Inggris ini langsung mengadakan perdagangan di pelabuhan-pelabuhan
kongsi China di Selakau dan Sedau yang merupakan wilayah Kesultanan Sambas.
Sultan Abubakar Tajuddin II adalah Sultan
Sambas terakhir yang berdaulat penuh di dalam Sambas. Untuk pertama kalinya
Belanda ikut campur terhadap pemerintahan di Sambas melalui sepupu dari Sultan
Abubakar Tajuddin II ini yang bernama Raden Tokok. Untuk memecah belah, Belanda
mengangkat Raden Tokok menjadi Sultan Sambas ke-12 dengan gelar Sultan Umar
Kamaluddin. Sebelum Sultan Abubakar Tajuddin II terpaksa turun dari takhta
Kesultanan Sambas (tahun 1855 M) telah ada kesepakatan antara Sultan Abubakar
Tajuddin dengan Raden Tokok’ atas persetujuan Belanda. Setelah Raden Tokok’
menjadi Sultan Sambas, maka yang akan menjadi Sultan Sambas berikutnya adalah
anak dari Sultan Abubakar Tajuddin II, yaitu Pangeran Adipati Afifuddin. Sejak
itu, kekuatan Belanda mulai berpengaruh di Kesultanan Sambas. Sultan Abubakar
Tajuddin II diasingkan ke Jawa oleh pemerintah Belanda tahun 1855 dan baru
kembali ke Sambas tahun 1879.
Lihat juga : Kesultanan Pontianak
Masa
Pendudukan Jepang
Raden Muhammad Mulia Ibrahim menjadi Sultan
Sambas ke-15 dengan gelar Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin. Pada masa
pemerintahannya, pasukan Jepang masuk ke Sambas. Sultan Muhammad Mulia Ibrahim
Shafiuddin kemudian menjadi salah seorang korban keganasan pasukan Jepang.
Setelah Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Shafiuddin terbunuh oleh Jepang,
pemerintahan Kesultanan Sambas dilanjutkan oleh sebuah Majelis Kesultanan
Sambas sampai dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia pada tahun 1965 M,
Majelis Kesultanan Sambas kemudian memutuskan untuk bergabung dalam Republik
Indonesia itu.
Peninggalan
Kesultanan Sambas
Kesultanan Sambas memiliki beberapa
peninggalan yang masih dapat disaksikan pada masa kini. Diantaranya adalah
Masjid Jami’ Kesultanan Sambas, Istana Sultan Sambas, Makam-makam Sultan Sambas dari Sultan Sambas pertama
hingga Sultan Sambas ke-14, serta sebagian alat-alat kebesaran kerajaan.
Comments
Post a Comment